BIOGRAFI K.H. ABDURRAHMAN
WAHID
Abdurrahman
Wahid, atau yang lebih popular dengan sebutan Gus Dur, merupakan tokoh panutan
yang sangat dihormati oleh banyak kalangan karena pengabdiannya kepada
masyarakat, demokrasi, dan Islam toleran. Selain itu, beliau merupakan Presiden
Indonesia ke-4. Beliau dilahirkan di Denanyar, Jombang, Jawa Timur pada 4
Agustus 1940. Beliau adalah putra pertama dari enam bersaudara. Ayahnya bernama
K.H. Wahid Hasyim adalah menteri agama pada tahun 1949-1952. Sedangkan Ibunya
bernama Hj. Sholehah adalah putri pendiri Pesantren Denanyar Jombang, K.H.
Bisri Syamsuri. Istrinya bernama Sinta Nuriyah. Hasil perkawinannya dengan
Sinta Nuriyah, mereka dikarunia empat orang anak, yaitu Alissa Qotrunnada
Munawaroh, Zannuba Arifah Chafsoh, Annita Hayatunnufus, dan Nayah Wulandari.
Sejak masa
kanak-kanak, Gus Dur mempunyai kegemaran membaca dan rajin memanfaatkan
perpustakaan pribadi ayahnya. Pada usia belasan tahun beliau telah akrab dengan
berbagai majalah, surat kabar, novel dan buku-buku. Di samping membaca, beliau
juga hobi menulis, bermain bola, catur dan musik. Hasil dari hobi menulisnya,
beliau berhasil menciptakan banyak buku, seperti Gus Dur Bertutur, 90 Menit
Bersama Gus Dur, Tuhan Tidak Perlu Dibela, Islamku Islam Anda Islam Kita, dan
lain-lain.
Pendidikan
dasar Gus Dur didapatkan Jakarta, yaitu di SD KRIS dan akhirnya pindah ke SD
Matraman Perwari. Pada tahun 1953, Gus Dur kecil lulus dari pendidikan dasarnya
dan melanjutkan pendidikan menengah di Yogyakarta. Beliau masuk ke Sekolah
Menengah Ekonomi Pertama (1953-1957). Beliau juga menjadi santri di Pondok
Pesantren al-Munawwir Krapyak Yogyakarta dengan menetap di rumah tokoh NU KH.
Ali Ma’sum. Pada tahun 1957, beliau menyelesaikan jenjang SMP lalu pindah ke
Magelang untuk belajar di pesantren Tegalrejo. Beliau mengembangkan reputasi
sebagai murid berbakat dan menyelesaikan pendidikan pesantren dalam waktu dua
tahun yang seharusnya ditempuh selama empat tahun.
Pada 1959, Gus
Dur pindah ke pesantren Tambakberas di Jombang dan mendapat pekerjaan pertama
sebagai guru sekaligus Kepala Madrasah. Pada 1963, Gus Dur mendapat beasiswa
dari Deperteman Agama untuk melanjutkan pendidikannya ke Universitas Al Azhar,
Kairo, Mesir. Namun Beliau tidak menyelesaikan pendidikan di sana dikarenakan kekritisannya tentang sistem
pendidikan di Mesir. Meski demikian, semangat belajar Gus Dur tidak surut. Kemudian
beliau belajar di Universitas Baghdad. Meskipun awalnya lalai, namun pada
akhirnya Gus Dur dapat menyelesaikan pendidikan Di Universitas Baghdad pada
tahun 1970. Selanjutnya Gus Dur pergi meneruskan pendidikannya di Universitas
Leiden, Belanda lalu ke Jerman, dan Prancis.
Pada tahun
1971,Gus Dur kembali ke Jakarta dan bergabung dengan Lembaga Penelitian,
Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), organisasi yang terdiri
dari kaum intelektual muslim progresif dan soaial demokrat. Pada Musyawarah
Nasional tahun 1983, Gus Dur didaulat sebagai Ketua Umum NU, selama masa
jabatan pertamanya Gus Dur fokus dalam mereformasi sistem pendidikan pesantren
dan berhasil meningkatkan kualitas pesantren. Pada 20 Oktober 1999, MPR
melaksaankan sidang dan memilih presiden paru, kemudian beliau terpilih menjadi
Presiden Indonesia Ke- 4.
Gus Dur wafat
pada hari Rabu, 30 Desember 2009, di
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta,
pukul 18.45 WIB pada usia 69 tahun. Beliau dimakamkan secara kenegaraan
yang dipimpin langsung oleh Presiden RI di kompleks Pondok Pesantren Tebuireng
pada tanggal 31 Desember 2009. Pondok pesantren tempat Gus Dur dimakamkan menjadi
maskot Kabupaten Jombang sebagai tempat ziarah yang memiliki daya tarik tidak
tertandingi. Bahkan orang-orang yang selama ini berseberangan politik dengan beliau
akan cenderung mengagungkan beliau bukan karena prestasi politiknya melainkan
karena berkahnya yang diyakini mampu memberikan perlindungan dan rasa aman.
Selain itu,
banyak juga Gus Dur juga banyak mendapatkan penghargaan semasa hidup. Pada
1993, beliau menerima Ramon Magsaysay Award, penghargaan cukup prestisius untuk
kategori kepemimpinan sosial. Kemudian beliau ditahbiskan sebagai “Bapak
Tionghoa” oleh beberapa tokoh Tionghoa Semarang di Kelenteng Tay Kak Sie, Gang
Lombok, pada 10 Maret 2004. Pada 11 Agustus 2006, Gadis Arivia dan Gus Dur juga
mendapatkan Tasrif Award-AJI sebagai Pejuang Kebebasan Pers 2006. Beliau juga
mendapat penghargaan dari Simon Wiethemthal Center, sebuah yayasan yang
bergerak di bidang penegakan HAM karena dianggap sebagai salah satu tokoh yang
peduli persoalan HAM. Gus Dur memperoleh penghargaan dari Mebal Valor yang berkantor
di Los Angeles karena beliau dinilai memiliki keberanian membela kaum minoritas
serta masih banyak sekali penghargaan yang beliau dapatkan.
Berdasarkan
informasi-informasi di atas, sosok yang biasa kita kenal dengan sebutan Gus Dur
ternyata memiliki perjalanan hidup yang menarik untuk simak. Selain itu, beliau
memiliki banyak keunggulan yang dimiliki, seperti menulis banyak buku,
mendapatkan banyak penghargaan, dan mampu sekolah sampai luar negeri. Oleh
karena itu, kita sebagai penerus bangsa ini dapat mengambil hal positif dari
kehidupan beliau serta dapat meneladaninya. Sehingga kita dapat meneruskan
perjuangan beliau untuk memajukan bangsa ini.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar