Minggu, 18 April 2021

Ibu Karya: D. Zamawi Imron

 Ibu
Karya: D. Zamawi Imron

 

Kalau aku merantau

lalu datang musim kemarau

sumur-sumur kering,

daunan pun gugur bersama reranting

hanya mata air air matamu ibu,

yang tetap lancar mengalir

bila aku merantau

sedap kopyor susumu

dan ronta kenakalanku

di hati ada mayang siwalan

memutikkan sari-sari kerinduan

lantaran hutangku padamu

tak kuasa kubayar

ibu adalah gua pertapaanku

dan ibulah yang meletakkan aku di sini

saat bunga kembang menyemerbak bau sayang

ibu menunjuk ke langit, kemundian ke bumi

aku mengangguk meskipun kurang mengerti

bila kasihmu ibarat samudera

sempit lautan teduh

tempatku mandi, mencuci lumut pada diri

tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh

lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku

kalau aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan

namamu, ibu, yang kan kusebut paling dahulu

lantaran aku tahu

engkau ibu dan aku anakmu

bila aku berlayar lalu datang angin sakal

Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal

ibulah itu bidadari yang berselendang bianglala

sesekali datang padaku

menyuruhku menulis langit biru

dengan sajakku.

(Sumber: Antologi Puisi Bantalku Ombak Selimutku Angin (1996).

Rabu, 14 April 2021

TEKS DRAMA MAHMAKAH KARYA ASRUL SANI

 

MAHMAKAH

Karya Asrul Sani

 


Dalam ruangan ini tidak ada perbedaan antara malam dan siang. Biarpun di kamar tidur Bahri hari sudah malam, kualitas cahaya dalam ruang mahkamah tetap sama. Murni datang diantarkan seorang petugas pengadilan. la berhenti sebentar untuk memandang wajah suaminya.

Pembela        : “Nyonya Murni, silakan duduk. (Bahri melihat Murni. la berdiri.) Murni.... Sayang!”

Mendengar kata sayang itu Murni memalingkan muka lalu duduk tertunduk. Pembela mendekati Munti lalu berkata.

Pembela        : “Nyonya ada sedikit pengakuan yang ingin didengarkan oleh Majelis Hakim yang mulia. Kami mengetahui, bahwa dulu nyonya adalah kekasih Kapten Anwar. Tapi orang yang mencintai Nyonya bukan dia satu-satunya. Ada lagi, yang lain, yaitu Mayor Bahri, suami Nyonya yang sekarang juga mencintai Nyonya. Kemudian, kapten Anwar dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan medan perang. Yang menjadi ketua pengadilan itu adalah Mayor Bahri, suami Nyonya. Saya ingin mengajukan beberapa pertanyaan. Harap nyonya jawab dengan jujur dan tujukan pada Majelis Hakim.”

(Murni mengangguk.)

Pembela        : “Sudah berapa tahun Nyonya berumah tangga dengan saudara Bahri?”

Murni              : “Lebih dari tiga puluh tahun.”

Pembela        : “Waktu yang cukup panjang untuk mengenali pribadi seseorang. Berdasarkan pengetahuan Nyonya, apakah mungkin saudara Bahri menjatuhkan hukuman pada sahabat karibnya Anwar dengan maksud membunuhnya supaya dapat mengawini Nyonya? Tolong Nyonya jawab dengan sejujur-jujurnya. Cobalah Nyonya renungkan.”

Murni                          : “Saya tidak perlu merenungkannya. Saya kenal sifat suami saya. Suami saya seorang pejuang, seorang prajurit yang setia. Tidak, dia bukan pembunuh.”

Pembela        : “Tolong sampaikan dengan lebih jelas pada Majelis Hakim.”

Murni              : “Suami saya tidak membunuh Anwar karena ingin kawin dengan saya.”

Pembela        : “Terima kasih, Nyonya. Untuk sementara sekian dulu yang mulia.”

Hakim Ketua : “Saudara Penuntut Umum, giliran Saudara.”

Penuntut Umum : “Nyonya Murni, apakah Nyonya seorang yang dapat dipercaya? Ataukah Nyonya berkata begitu hanya sekadar mimpi memamerkan kesetiaan pada suami yang sebetulnya sama sekali tidak Nyonya miliki.

Pembela        : “Yang Mulia, saya keberatan terhadap ucapan saudara Penuntut Umum.

Di sini yang diadili adalah saudara Bahri bukan Nyonya Murni.”

Penuntut Umum : “Maaf, yang Mulia. Saudara Pembela terlalu terburu nafsu. Saya belum selesai bicara. Saya tidak mengadili. Saya hanya membuat suatu simpulan.”

Hakim Ketua : “Teruskan saudara Penuntut Umum.”

Penuntut Umum : “Setelah saudara meninggal, berapa lama kemudian nyonya menikah dengan saudara Bahri?” (Mumi diam sebentar)

Penuntut Umum: (mendesak) “Ayolah, Nyonya Murni. Menurut keterangan yang kami peroleh Nyonya sangat cinta pada saudara Anwar. Apa betul?”

Murni (mengangguk)

Penuntut Umum : “Begitu cinta padanya, hingga lamaran saudara Bahri yang pangkatnya lebih tinggi dari saudara Anwar, Nyonya tolak. Saya tidak tahu pasti, biarpun kepastian ini tidak penting, dalam bermesraan dengan saudara Anwar tidak akan begitu aneh jika Nyonya dan saudara Anwar bersimpati untuk sehidup semati-itu biasa. Memang begitu biasanya anak-anak muda yang sedang bercinta. Lalu dia meninggal. Berapa bulan kemudian Nyonya menikah dengan saudara Bahri?”

Murni  : (hampir-hampir tidak terdengar) “Dua bulan ......”

Penuntut Umum : “Keras sedikit.”

Murni              : “Dua bulan.”

Penuntut Umum : (dengan sinis) “Dua bulan? Hebat sekali kesetiaan Nyonya kepada saudara Anwar. Belum lagi jasadnya membusuk dalam kubur, Nyonya sudah berpaling dengan lelaki lain, saingannya. Perempuan apa Nyonya sebetulnya? Perempuan pengobral cinta yang pindah dengan mudah dari lelaki yang satu ke lelaki yang lain? Penjual mulut manis, pendusta, pembohong?”

Pembela        : “Saya keberatan atas pertanyaan-pertanyaan saudara Penuntut Umum.”

Penuntut Umum : “Yang saya kemukakan bukan simpulan. Kalau boleh bertanya pada saudara Pembela terhormat, simpulan apa yang akan ia ambil dari kenyataan-kenyataan ini?”

Pembela        : (langsung menjawab) “Cara saudara mengajukan pertanyaan memojokkan nyonya Murni.”

Penuntut Umum : “Saya tidak memojokkan siapa-siapa. Itu adalah prasangka saudara. Di sini ......”

(Hakim mengetuk-ngetukkan palunya melihat Pembela dan Penuntut Umum bertengkar.)

Hakim Ketua : “Saudara-saudara bicara melalui Hakim”. (Keduanya diam.)

Pembela        : “Maaf yang Mulia.”

Hakim Ketua : “Saudara Penuntut Umum teruskan.”

Penuntut Umum : “Untuk sementara sekian dulu yang Mulia.”

Hakim Ketua : “Saudara Pembela, silakan.”

Pembela        : “Nyonya Murni (menyeka air matanya), kata nyonya, nyonya kawin dua bulan setelah kekasih nyonya meninggal. Memang nyonya, masyarakat umum akan bertanya-tanya, bagaimana mungkin seorang gadis yang begitu mencintai seorang laki-laki, tiba-tiba kawin dalam waktu begitu singkat dengan lelaki lain. Masyarakat cenderung untuk menghukum, tapi nyonya berhak untuk membela diri. Nyonya tentu punya alasan. Apa bisa nyonya Jelaskan?”

Murni                          : “Setelah Anwar meninggal, saya hancur luluh. Dunia ini serasa kiamat: Saya hampir-hampir sesat. Saya memutuskan untuk bunuh diri. Tapi Tuhan melindungi saya. Bermalam-malam saya berjuang melawan keinginan saya itu. Saya berhasil mengambil keputusan. Saya akan hidup terus, saya harus bisa melupakan. Tapi saya perempuan, sendiri memerlukan perlindungan. Tidak ada gunanya memerlukan perlindungan seseorang yang sudah tidak ada. Satu-satunya orang yang mencintai saya, kecuali Anwar, adalah Bahri. Lalu saya membulatkan hati. Siapa tahu saya dapat belajar mencintai dia. Karena ia lelaki yang baik, setia. la juga mencintai Anwar. Tidak pernah satu katapun keluar dari mulutnya hal-hal yang memburukkan Anwar. Setelah kami menikah, setiap tahun ia membawa saya ziarah ke makam Anwar. Mula-mula saya mengira mencintai dua orang lelaki. Tapi kenyataannya, saya mencintai seorang Bahri.”

Pembela        : “Lalu di mana tempat Anwar.”

Murni              : “Kami berdua mencintai Anwar sebagai kenangan.”

Pembela        : “Terima kasih.”

Hakim Ketua : “Masih ada saudara Penuntut Umum?”

Penuntut Umum : “Ya, yang Mulia. Nyonya Murni. Apa saudara Bahri membahagiakan Nyonya?”

Murni                          : “Ia berusaha sekuatnya membahagiakan saya dan saya memang bahagia”.

Penuntut Umum : “Nyonya dusta.”

Penuntut Umum : “Bagaimana tidak?! Baru tadi pagi Nyonya mengeluh pada suami Nyonya. Nyonya menuntut saat-saat yang dapat dijadikan kenangan, karena suami Nyonya tidak memberikan waktu yang menjadi hak Nyonya. Karena suami Nyonya adalah seorang yang tidak kenal cinta sejati yang mengawini Nyonya karena nafsu semata.”

Murni              : “Oh, tuan mendengarkan sesuatu yang tidak diperuntukkan bagi telinga.”

Penuntut Umum : “Itu tidak menjadi soal. Di sini tidak ada rahasia.”

Murni                          : “Bukan karena percakapan itu percakapan rahasia, tapi karena tuan tidak akan pernah mengerti bahasa yang kami pergunakan. Karena bahasa yang berlaku antara suami istri adalah bahasa khusus, yang hanya dapat dimengerti oleh mereka berdua. Mungkin kata-katanya sama dengan yang tuan dengar di pasar atau baca di koran, tapi setiap kata dibebani rasa yang tumbuh dari suka duka kehidupan kemesraan mereka berdua.”

Penuntut Umum      : “Kalau begitu tidak masuk akal sekali, usaha manusia mendirikan pengadilan untuk menetapkan suatu perceraian.”

Murni                          : “Perceraian terjadi, jika bahasa itu sudah mati dan digantikan oleh bahasa pasar dan bahasa koran yang jadi milik orang banyak.”

Penuntut Umum : “Baik, saya tidak akan memasuki persoalan itu lebih jauh. (kepada Hakim) Yang mulia, yang ingin saya buktikan ialah bahwa saudara Bahri adalah seseorang yang dikendalikan oleh hawa nafsunya.Nyonya! Waktu saudara Bahri melamar Nyonya dan Nyonya menolak lamarannya apa kata-kata yang diucapkan oleh saudara Bahri?” (Murni diam sebentar, lalu berkata.)

Murni              : “Saya mengerti kekecewaannya. Apa yang dia ucapkan tidak penting.”

Penuntut Umum : “Penting atau tidak penting adalah urusan Majelis Hakim. Apa katanya?”

Murni              : “Saya sudah lupa.”

Penuntut Umum : “Ayolah Nyonya, Nyonya tidak lupa ....”

(Murni memaling ke arah suaminya. Bahri berkata pada Hakim.)

Bahri              : “Yang Mulia, apa boleh saya mengatakan sesuatu pada istri saya?”

Hakim             : “Silakan.”

Bahri                          : “Katakan yang sebenarnya, Murni. Hanya kebenaran yang bisa menyelamatkan saya.” (Murni menunduk lalu berkata.)

Murni                          : “Ia berkata, sekarang soalnya jelas sudah. Apa yang menjadi niat waktu tertuduh menjatuhkan hukuman mati sudah jelas. la ingin membunuh saksi yang merupakan saingan baginya.”

(Hakim kelihatan berbisik.)

Pembela        : “Bapak Hakim yang mulia, apakah boleh saya mengajukan sebuah barang bukti?”

Hakim Ketua : “Saya kira tidak perlu lagi.”

Pembela        : “Yang Mulia, apa pun keputusan yang akan dijatuhkan oleh yang muliasatu hal harus pasti. Keputusan itu harus berdasarkan kebenaran tersebut -dunia sudah terlalu sarat dengan segala macam prasangka.”

Hakim                         : “Baik, silakan”. (Pembela membuka mapnya dan mengeluarkan sepucuk surat.)

Pembela        : “Surat ini ditulis pada malam setelah tertuduh menyampaikan lamarannya pada saudara Murni.Surat ini kemudian dikirimkan pada Murni dengan bantuan seorang prajurit. Tapi prajurit itu terbunuh dan surat ini tidak sampai ke tangan Murni. Surat itu ada pada saya. Saya minta supaya Yang Mulia sudi membacakannya. (Ia menyerahkan surat itu pada Hakim Ketua. Hakim membuka “sampulnya dan mulai membaca.)

Hakim Ketua : “Adinda Murni yang tercinta, Biarpun cinta kakanda telah adinda tolak, semoga adinda masih bersedia membaca surat ini dan mempertimbangkan permohonan kakanda. Kakanda minta maaf atas ucapan yang kakanda lontarkan di hadapan adinda. Kakanda begitu kecewa dan sedih, hingga kakanda kehilangan kendali atas diri kakanda. Lalu kakanda berkata: “Kalau begitu tidak ada jalan lain. Salah satu di antara kami, saya atau Anwar harus mati.” Kakanda menyesal sedalam-dalamnya atas ucapan itu. Kakanda malu. Kakanda kini ingin bicara dari lubuk hati kakanda. Adinda bebas menentukan pilihan. Jika adinda memutuskan untuk memilih Anwar, maka kakanda akan mengucapkan syukur dan berdoa pada Tuhan supaya kalian bahagia. Anwar adalah sahabat kakanda. Kalau dia bahagia maka kakanda juga bahagia. Salam kakanda Saiful Bahri.”

Pembela        : “Terima kasih yang mulia. Saya tidak akan mengajukan pertanyaan lagi.”

Hakim Ketua : “Saudara Penuntut Umum masih ingin mengajukan pertanyaan pada saksi?”

Penuntut Umum : “Tidak yang mulia.”

Hakim Ketua : “Apa ada yang saudara ingin sampaikan pada Majelis Hakim?”

Penuntut Umum : “Ada sedikit yang mulia. Sebuah perbuatan ditentukan oleh niat pelakunya. Dari pemeriksaan yang dilakukan sudah cukup jelas niat apa yang tersembunyi di balik hukuman yang dijatuhkan oleh tertuduh. Biarpun saudara Bahri mengatakan bahwa semuanya ia lakukan demi Tuhan, demi bangsa dan negara, niatnya yang sebenarnya adalah untuk menyingkirkan saingannya. Dengan demikian, dia bukan orang yang melakukan tugas tapi ia harus dinyatakan seorang pembunuh. Terima kasih.”

Hakim Ketua : “Saudara Pembela, saudara saya persilakan untuk menyampaikan pembelaan saudara yang terakhir pada Majelis Hakim.”

Pembela        : “Majelis hakim yang mulia.Kini sampailah saya pada akhir tugas saya, yaitu membantu dengan sekuat tenaga menegakkan kebenaran dan mengembalikan hak kepada yang berhak. Perbuatan seseorang dinilai menurut niat pelakunya. Tapi siapakah yang dapat mengetahui niat seseorang. Dan jika toh dapat kita ketahui, maka kita akan menilainya menurut keterbatasan pribadi kita juga. Oleh karena itu, Majelis Hakim yang mulia, satu-satunya yang dapat menghakimi adalah pelaku itu sendiri. Tapi itu hanya akan terjadi, jika hati sanubari orang tersebut masih berfungsi sebagaimana mestinya, jika suara hatinya masih bisa membedakan yang benar dan yang salah. Yang terbukti dalam mahkamah ini tidak apa-apa, kecuali bahwa saudara Saiful Bahri yang sekarang ini dihadapkan sebagai tertuduh, adalah seorang yang jujur, rendah hati, percaya pada Tuhan dan seorang yang memiliki tanggung jawab sepenuhnya atas semua perbuatannya. Oleh karena itulah pada tempatnya, jika keputusan pengadilan ini dikembalikan pada hati sanubarinya sendiri. Saya yakin Majelis Hakim yang mulia akan mempertimbangkan ini. Terima kasih!”

Hakim Ketua : “Majelis hakim akan mengundurkan diri untuk bermusyawarah dan mengambil keputusan. Dengan ini sidang saya undur beberapa saat.”

(Para hakim berdiri lalu meninggalkan ruangan sidang, sementara semua yang hadir berdiri.)

(Sumber: Manuskrip PDS HB. Jassin, 1984, 32-39)

Senin, 05 April 2021

Hikayat Abu Nawas – Ibu Sejati

                                                    

                                        Hikayat Abu Nawas – Ibu Sejati

 


  Kisah ini sangat mirip dengan kejadian pada zaman Nabi Sulaiman as, yaitu ketika Nabi Daud as mendapat pengaduan dari dua orang ibu dan seorang bayi yang masing-masing mengaku bahwa bayi itu adalah milik salah satu dari mereka, kemudian Nabi Sulaiman as diminta untuk menjadi hakim yang waktu itu beliau masih muda. Entah mungkin cerita ini sebenarnya mengadopsi dari cerita Nabi Sulaiman as tersebut, atau mungkin bisa jadi cerita yang sama di zaman yang berbeda.

Entah sudah berapa hari kasus seorang bayi yang diakui oleh dua orang ibu yang sama-sama ingin memiliki anak. Hakim rupanya mengalami kesulitan memutuskan dan menentukan perempuan yang mana sebenarnya yang menjadi ibu bayi itu.

Karena kasus berlarut-larut, maka terpaksa hakim menghadap Baginda Raja untuk minta bantuan. Baginda pun turun tangan. Baginda memakai taktik rayuan. Baginda berpendapat mungkin dengan cara-cara yang amat halus salah satu, wanita itu ada yang mau mengalah. Tetapi kebijaksanaan Baginda Raja Harun Al Rasyid justru membuat kedua perempuan makin mati-matian saling mengaku bahwa bayi itu adalah anaknya. Baginda berputus asa.

Mengingat tak ada cara-cara lain lagi yang bisa diterapkan Baginda memanggil abu nawas. abu nawas hadir menggantikan hakim. abu nawas tidak mau menjatuhkan putusan pada hari itu melainkan menunda sampai hari berikutnya. Semua yang hadir yakin abu nawas pasti sedang mencari akal seperti yang biasa dilakukan. Padahal penundaan itu hanya disebabkan algojo tidak ada di tempat.

Keesokan hari sidang pengadilan diteruskan lagi. Abu Nawas memanggrl algojo dengan pedang di tangan. abu nawas memerintahkan agar bayi itu diletakkan di atas meja.

“Apa yang akan kau perbuat terhadap bayi itu?” kata kedua perempuan itu saling memandang. Kemudian abu nawas melanjutkan dialog.

“Sebelum saya mengambil tindakan apakah salah satu dari kalian bersedia mengalah dan menyerahkan bayi itu kepada yang memang berhak memilikinya?”

“Tidak, bayi itu adalah anakku.” kata kedua perempuan itu serentak.

“Baiklah, kalau kalian memang sungguh-sungguh sama menginginkan bayi itu dan tidak ada yang mau mengalah maka saya terpaksa membelah bayi itu menjadi dua sama rata.” kata abu nawas mengancam.

Perempuan pertama girang bukan kepalang, sedangkan perempuan kedua menjerit-jerit histeris.

“Jangan, tolongjangan dibelah bayi itu. Biarlah aku rela bayi itu seutuhnya diserahkan kepada perempuan itu.” kata perempuan kedua. abu nawas tersenyum lega. Sekarang topeng mereka sudah terbuka. abu nawas segera mengambil bayi itu dan langsurig menyerahkan kepada perempuan kedua.

Abu Nawas minta agar perempuan pertama dihukum sesuai dengan perbuatannya. Karena tak ada ibu yang tega menyaksikan anaknya disembelih. Apalagi di depan mata. Baginda Raja merasa puas terhadap keputusan abu nawas. Dan .sebagai rasa terima kasih, Baginda menawari abu nawas menjadi penasehat hakim kerajaan. Tetapi abu nawas menolak. la lebih senang menjadi rakyat biasa.

 

 

Sumber: Buku Dongeng Putri Salju

Diceritakan kembali oleh: Yustitia Angelia

Ilustrasi: Ir. Anam

Penerbit: Bintang Indonesia, Jakarta


Minggu, 04 April 2021

CONTOH PUISI SAPARDI DJOKO D - CHARIL ANWAR - MUSTHOFA BISRI

 

CONTOH PUISI SAPARDI DJOKO D. - CHARIL ANWAR - MUSTHOFA BISRI

                                         

AKU INGIN (Sapardi Djoko Damono)

 

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

dengan kata yang tak sempat diucapkan

kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

dengan isyarat yang tak sempat disampaikan

awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

 

SENJA DI PELABUHAN KECIL (Chairil Anwar)

 

Kepada Sri Ajati

Ini kali tidak ada yang mencari cinta

di antara gudang, rumah tua, pada cerita

tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut

menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut

 

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang

menyinggung muram, desir hari lari berenang

menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak

dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.

 

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan

menyisir semenanjung, masih pengap harap

sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan

dari pantai keempar, sedu penghabisan bisa terdekap

 

 

DI MESJID (Chairil Anwar)

 

Kuseru saja Dia

Sehingga datang juga

Kami pun bermuka-muka.

 

Seterusnya Ia Bernyala-nyala dalam dada.

Segala daya memadamkannya

Bersimbah peluh diri yang tak bisa diperkuda

 

Ini ruang

Gelanggang kami berperang.

Binasa-membinasa

Satu menista lain gila

 

 PADA SUATU HARI NANTI (Sapardi Djoko Damono)

 

Pada suatu hari nanti,

Jasadku tak akan ada lagi,

Tapi dalam bait-bait sajak ini,

Kau tak akan kurelakan sendiri.

 

Pada suatu hari nanti,

Suaraku tak terdengar lagi,

Tapi di antara larik-larik sajak ini.

 

Kau akan tetap kusiasati,

 

Pada suatu hari nanti,

Impianku pun tak dikenal lagi,

Namun di sela-sela huruf sajak ini,

Kau tak akan letih-letihnya kucari.

 

 

GURUKU (Musthofa Bisri)

 

Ketika aku kecil dan menjadi muridnya

Dialah di mataku orang terbesar dan terpintar

Ketika aku besar dan menjadi pintar

Kulihat dia begitu kecil dan lugu

Aku menghargainya dulu

Karena tak tahu harga guru

Ataukah kini aku tak tahu

Menghargai guru?

 

Sumber :

https://gasbanter.com/

Buku paket Bahasa Indonesia Kelas X

  CONTOH TEKS RAGAM BAHASA   1.       Teks 1 Pada kesempatan yang baik ini marilah kita panjatkan puji syukur kepada Tuhan atas rahmat...