Darurat Kesehatan Mental bagi Remaja
Oleh
Alfina
Ayu Rachmawati
Kesehatan mental atau jiwa menurut undang – undang
nomor 18 tahun 2014 tentang kesehatan jiwa merupakan kondisi dimana seseorang
individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual dan sosial sehingga
individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat
bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya.
Hal itu juga berarti kesehatan mental mempunyai pengaruh terhadap fisik
seseorang dan juga akan mengganggu produktivitas. Kesehatan mental sangat penting untuk
menunjang produktivitas dan kualitas kesehatan fisik. Ganguan mental atau
kejiwaan bisa dialami oleh siapa saja. Data Riskesdas (riset kesehatan dasar)
2018 menunjukkan prevalensi gangguan mental emosional yang ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi
dan kecemasan untuk
usia 15 tahun
ke atas mencapai
sekitar 6,1% dari
jumlah penduduk Indonesia atau
setara dengan 11 juta orang.
Pada usia remaja (15-24 tahun) memiliki persentase
depresi sebesar 6,2%. Depresi berat akan mengalami kecenderungan untuk
menyakiti diri sendiri (self harm) hingga bunuh diri. Sebesar 80 – 90% kasus
bunuh diri merupakan akibat dari depresi dan kecemasan. Kasus bunuh diri di
Indonesia bisa mencapai 10.000 atau setara dengan setiap satu jam terdapat
kasus bunuh diri. Menurut ahli suciodologist 4.2% siswa di Indonesia pernah
berpikir bunuh diri. Pada kalangan mahasiswa sebesar 6,9% mempunyai niatan
untuk bunuh diri sedangkan 3% lain pernah melakukan percobaan bunuh diri.
Depresi pada remaja bisa diakibatkan oleh beberapa hal seperti tekanan dalam
bidang akademik, perundungan(bullying), faktor keluarga, dan permasalahan
ekonomi.
Depresi terjadi dengan salah satu ciri adalah dengan
stres dan kecemasan berkepanjangan yang menyebabkan terhambatnya aktivitas dan
menurunya kualitas fisik. Pencegahan depresi dapat dilakukan dengan pengelolaan
stres. Pengelolaan stres masing – masing individu berbeda, ada yang mengelola
stres dengan melakukan kegiatan yang disukai seperti hobi, melakukan kegiatan
refreshing, mendekatkan diri dalam konteks spiritual keagamaan, hingga
bercerita kepada orang lain untuk mengurangi beban stres. Terlepas dari stigma
masyarakat, keberanian diri untuk terbuka terhadap orang lain dan berobat
merupakan salah satu langkah yang tepat. Di era digital seperti sekarang banyak
platfrorm yang meyediakan layanan konsultasi secara daring dengan biaya maupun
gratis. Selain itu, beberapa puskesmas telah menyediakan layanan konsultasi
psikologi dengan biaya gratis maupun berbayar dengan harga terjangkau.
Akan tetapi pemahaman akan kesehatan mental di
Indonesia cenderung rendah. Hal ini dibuktikan dengan tingkat pemasungan orang
dengan gangguan jiwa sebesar 14% pernah pasung seumur hidup dan 31,5% dipasung
3 bulan terakhir. Selain itu sebesar 91% masyarakat Indonesia yang mengalami
gangguan jiwa tidak tertangani dengan baik dan hanya 9% sisanya yang dapat
tertangani. Tidak ditangani dengan baik bisa menjadi indikasi akan kurangnya
fasilitas kesehatan mental ditambah kurangnya pemahaman akan kesehatan mental.
Masyarakat cenderung memberi stigma negatif terhadap orang dengan gangguan
mental atau jiwa yaitu dengan mencela dan menganggapnya sebagai aib, anggapan
akan orang gila. Selain itu masyarakat yang kurang paham akan tanda – tanda
gangguan mental seperti depresi, yang mana depresi merupakan gangguan kesehatan
mental yang paling sering ditemukan. Hal ini menyebabkan orang dengan kesehatan mental yang terganggu
cenderung susah terbuka akan pengobatan dan malah merasa lebih tertekan akan
stigma masyarakat. Hendaknya masyarakat lebih terbuka dan peka akan gangguan
kesehatan mental disekitarnya. Masyarakat bisa menjadi pendengar bagi orang
yang mengalami depresi maupun stres sebagai upaya meringankan beban mental.
Sumber:
https://egsa.geo.ugm.ac.id/2020/11/27/darurat-kesehatan-mental-bagi-remaja/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar