MAHMAKAH
Karya
Asrul Sani
Dalam ruangan ini tidak ada perbedaan
antara malam dan siang. Biarpun di kamar tidur Bahri hari sudah malam, kualitas
cahaya dalam ruang mahkamah tetap sama. Murni datang diantarkan seorang petugas
pengadilan. la berhenti sebentar untuk memandang wajah suaminya.
Pembela : “Nyonya Murni, silakan duduk. (Bahri
melihat Murni. la berdiri.) Murni.... Sayang!”
Mendengar kata sayang itu Murni
memalingkan muka lalu duduk tertunduk. Pembela mendekati Munti lalu berkata.
Pembela : “Nyonya ada sedikit pengakuan yang
ingin didengarkan oleh Majelis Hakim yang mulia. Kami mengetahui, bahwa dulu
nyonya adalah kekasih Kapten Anwar. Tapi orang yang mencintai Nyonya bukan dia
satu-satunya. Ada lagi, yang lain, yaitu Mayor Bahri, suami Nyonya yang
sekarang juga mencintai Nyonya. Kemudian, kapten Anwar dijatuhi hukuman mati
oleh pengadilan medan perang. Yang menjadi ketua pengadilan itu adalah Mayor
Bahri, suami Nyonya. Saya ingin mengajukan beberapa pertanyaan. Harap nyonya
jawab dengan jujur dan tujukan pada Majelis Hakim.”
(Murni mengangguk.)
Pembela :
“Sudah berapa tahun Nyonya berumah tangga dengan saudara Bahri?”
Murni :
“Lebih dari tiga puluh tahun.”
Pembela : “Waktu yang cukup panjang untuk
mengenali pribadi seseorang. Berdasarkan pengetahuan Nyonya, apakah mungkin
saudara Bahri menjatuhkan hukuman pada sahabat karibnya Anwar dengan maksud
membunuhnya supaya dapat mengawini Nyonya? Tolong Nyonya jawab dengan
sejujur-jujurnya. Cobalah Nyonya renungkan.”
Murni : “Saya tidak perlu
merenungkannya. Saya kenal sifat suami saya. Suami saya seorang pejuang,
seorang prajurit yang setia. Tidak, dia bukan pembunuh.”
Pembela :
“Tolong sampaikan dengan lebih jelas pada Majelis Hakim.”
Murni :
“Suami saya tidak membunuh Anwar karena ingin kawin dengan saya.”
Pembela :
“Terima kasih, Nyonya. Untuk sementara sekian dulu yang mulia.”
Hakim Ketua : “Saudara Penuntut Umum, giliran Saudara.”
Penuntut
Umum : “Nyonya Murni, apakah Nyonya seorang yang dapat dipercaya? Ataukah
Nyonya berkata begitu hanya sekadar mimpi memamerkan kesetiaan pada suami yang
sebetulnya sama sekali tidak Nyonya miliki.
Pembela :
“Yang Mulia, saya keberatan terhadap ucapan saudara Penuntut Umum.
Di sini yang diadili adalah saudara
Bahri bukan Nyonya Murni.”
Penuntut
Umum : “Maaf, yang Mulia. Saudara Pembela terlalu terburu nafsu. Saya belum
selesai bicara. Saya tidak mengadili. Saya hanya membuat suatu simpulan.”
Hakim Ketua : “Teruskan saudara Penuntut Umum.”
Penuntut
Umum : “Setelah saudara meninggal, berapa lama kemudian nyonya menikah dengan
saudara Bahri?” (Mumi diam sebentar)
Penuntut Umum: (mendesak) “Ayolah,
Nyonya Murni. Menurut keterangan yang kami peroleh Nyonya sangat cinta pada
saudara Anwar. Apa betul?”
Murni (mengangguk)
Penuntut
Umum : “Begitu cinta padanya, hingga lamaran saudara Bahri yang pangkatnya
lebih tinggi dari saudara Anwar, Nyonya tolak. Saya tidak tahu pasti, biarpun
kepastian ini tidak penting, dalam bermesraan dengan saudara Anwar tidak akan
begitu aneh jika Nyonya dan saudara Anwar bersimpati untuk sehidup semati-itu
biasa. Memang begitu biasanya anak-anak muda yang sedang bercinta. Lalu dia
meninggal. Berapa bulan kemudian Nyonya menikah dengan saudara Bahri?”
Murni :
(hampir-hampir tidak terdengar) “Dua bulan ......”
Penuntut Umum : “Keras sedikit.”
Murni :
“Dua bulan.”
Penuntut
Umum : (dengan sinis) “Dua bulan? Hebat sekali kesetiaan Nyonya kepada saudara
Anwar. Belum lagi jasadnya membusuk dalam kubur, Nyonya sudah berpaling dengan
lelaki lain, saingannya. Perempuan apa Nyonya sebetulnya? Perempuan pengobral
cinta yang pindah dengan mudah dari lelaki yang satu ke lelaki yang lain?
Penjual mulut manis, pendusta, pembohong?”
Pembela :
“Saya keberatan atas pertanyaan-pertanyaan saudara Penuntut Umum.”
Penuntut
Umum : “Yang saya kemukakan bukan simpulan. Kalau boleh bertanya pada saudara
Pembela terhormat, simpulan apa yang akan ia ambil dari kenyataan-kenyataan
ini?”
Pembela : (langsung menjawab) “Cara saudara
mengajukan pertanyaan memojokkan nyonya Murni.”
Penuntut
Umum : “Saya tidak memojokkan siapa-siapa. Itu adalah prasangka saudara. Di
sini ......”
(Hakim mengetuk-ngetukkan palunya
melihat Pembela dan Penuntut Umum bertengkar.)
Hakim Ketua : “Saudara-saudara bicara melalui Hakim”. (Keduanya diam.)
Pembela :
“Maaf yang Mulia.”
Hakim Ketua : “Saudara Penuntut Umum teruskan.”
Penuntut Umum : “Untuk sementara sekian
dulu yang Mulia.”
Hakim Ketua : “Saudara Pembela, silakan.”
Pembela : “Nyonya Murni (menyeka air matanya),
kata nyonya, nyonya kawin dua bulan setelah kekasih nyonya meninggal. Memang
nyonya, masyarakat umum akan bertanya-tanya, bagaimana mungkin seorang gadis
yang begitu mencintai seorang laki-laki, tiba-tiba kawin dalam waktu begitu
singkat dengan lelaki lain. Masyarakat cenderung untuk menghukum, tapi nyonya
berhak untuk membela diri. Nyonya tentu punya alasan. Apa bisa nyonya Jelaskan?”
Murni : “Setelah Anwar
meninggal, saya hancur luluh. Dunia ini serasa kiamat: Saya hampir-hampir
sesat. Saya memutuskan untuk bunuh diri. Tapi Tuhan melindungi saya. Bermalam-malam
saya berjuang melawan keinginan saya itu. Saya berhasil mengambil keputusan.
Saya akan hidup terus, saya harus bisa melupakan. Tapi saya perempuan, sendiri
memerlukan perlindungan. Tidak ada gunanya memerlukan perlindungan seseorang
yang sudah tidak ada. Satu-satunya orang yang mencintai saya, kecuali Anwar,
adalah Bahri. Lalu saya membulatkan hati. Siapa tahu saya dapat belajar
mencintai dia. Karena ia lelaki yang baik, setia. la juga mencintai Anwar.
Tidak pernah satu katapun keluar dari mulutnya hal-hal yang memburukkan Anwar.
Setelah kami menikah, setiap tahun ia membawa saya ziarah ke makam Anwar.
Mula-mula saya mengira mencintai dua orang lelaki. Tapi kenyataannya, saya
mencintai seorang Bahri.”
Pembela :
“Lalu di mana tempat Anwar.”
Murni :
“Kami berdua mencintai Anwar sebagai kenangan.”
Pembela :
“Terima kasih.”
Hakim Ketua : “Masih ada saudara Penuntut Umum?”
Penuntut
Umum : “Ya, yang Mulia. Nyonya Murni. Apa saudara Bahri membahagiakan Nyonya?”
Murni : “Ia berusaha
sekuatnya membahagiakan saya dan saya memang bahagia”.
Penuntut Umum : “Nyonya dusta.”
Penuntut
Umum : “Bagaimana tidak?! Baru tadi pagi Nyonya mengeluh pada suami Nyonya.
Nyonya menuntut saat-saat yang dapat dijadikan kenangan, karena suami Nyonya
tidak memberikan waktu yang menjadi hak Nyonya. Karena suami Nyonya adalah
seorang yang tidak kenal cinta sejati yang mengawini Nyonya karena nafsu
semata.”
Murni :
“Oh, tuan mendengarkan sesuatu yang tidak diperuntukkan bagi telinga.”
Penuntut Umum : “Itu tidak menjadi soal.
Di sini tidak ada rahasia.”
Murni : “Bukan karena
percakapan itu percakapan rahasia, tapi karena tuan tidak akan pernah mengerti
bahasa yang kami pergunakan. Karena bahasa yang berlaku antara suami istri
adalah bahasa khusus, yang hanya dapat dimengerti oleh mereka berdua. Mungkin
kata-katanya sama dengan yang tuan dengar di pasar atau baca di koran, tapi
setiap kata dibebani rasa yang tumbuh dari suka duka kehidupan kemesraan mereka
berdua.”
Penuntut
Umum : “Kalau begitu tidak masuk akal
sekali, usaha manusia mendirikan pengadilan untuk menetapkan suatu perceraian.”
Murni : “Perceraian terjadi,
jika bahasa itu sudah mati dan digantikan oleh bahasa pasar dan bahasa koran
yang jadi milik orang banyak.”
Penuntut
Umum : “Baik, saya tidak akan memasuki persoalan itu lebih jauh. (kepada Hakim)
Yang mulia, yang ingin saya buktikan ialah bahwa saudara Bahri adalah seseorang
yang dikendalikan oleh hawa nafsunya.Nyonya! Waktu saudara Bahri melamar Nyonya
dan Nyonya menolak lamarannya apa kata-kata yang diucapkan oleh saudara Bahri?”
(Murni diam sebentar, lalu berkata.)
Murni :
“Saya mengerti kekecewaannya. Apa yang dia ucapkan tidak penting.”
Penuntut
Umum : “Penting atau tidak penting adalah urusan Majelis Hakim. Apa katanya?”
Murni :
“Saya sudah lupa.”
Penuntut Umum : “Ayolah Nyonya, Nyonya
tidak lupa ....”
(Murni memaling ke arah suaminya. Bahri
berkata pada Hakim.)
Bahri :
“Yang Mulia, apa boleh saya mengatakan sesuatu pada istri saya?”
Hakim :
“Silakan.”
Bahri : “Katakan yang
sebenarnya, Murni. Hanya kebenaran yang bisa menyelamatkan saya.” (Murni
menunduk lalu berkata.)
Murni : “Ia berkata,
sekarang soalnya jelas sudah. Apa yang menjadi niat waktu tertuduh menjatuhkan
hukuman mati sudah jelas. la ingin membunuh saksi yang merupakan saingan
baginya.”
(Hakim kelihatan berbisik.)
Pembela : “Bapak Hakim yang mulia, apakah boleh
saya mengajukan sebuah barang bukti?”
Hakim Ketua : “Saya kira tidak perlu lagi.”
Pembela : “Yang Mulia, apa pun keputusan yang
akan dijatuhkan oleh yang muliasatu hal harus pasti. Keputusan itu harus
berdasarkan kebenaran tersebut -dunia sudah terlalu sarat dengan segala macam
prasangka.”
Hakim : “Baik, silakan”.
(Pembela membuka mapnya dan mengeluarkan sepucuk surat.)
Pembela : “Surat ini ditulis pada malam setelah
tertuduh menyampaikan lamarannya pada saudara Murni.Surat ini kemudian
dikirimkan pada Murni dengan bantuan seorang prajurit. Tapi prajurit itu
terbunuh dan surat ini tidak sampai ke tangan Murni. Surat itu ada pada saya.
Saya minta supaya Yang Mulia sudi membacakannya. (Ia menyerahkan surat itu pada
Hakim Ketua. Hakim membuka “sampulnya dan mulai membaca.)
Hakim
Ketua : “Adinda Murni yang tercinta,
Biarpun cinta kakanda telah adinda tolak, semoga adinda masih bersedia membaca
surat ini dan mempertimbangkan permohonan kakanda. Kakanda minta maaf atas
ucapan yang kakanda lontarkan di hadapan adinda. Kakanda begitu kecewa dan
sedih, hingga kakanda kehilangan kendali atas diri kakanda. Lalu kakanda
berkata: “Kalau begitu tidak ada jalan lain. Salah satu di antara kami, saya
atau Anwar harus mati.” Kakanda menyesal sedalam-dalamnya atas ucapan itu. Kakanda
malu. Kakanda kini ingin bicara dari lubuk hati kakanda. Adinda bebas
menentukan pilihan. Jika adinda memutuskan untuk memilih Anwar, maka kakanda
akan mengucapkan syukur dan berdoa pada Tuhan supaya kalian bahagia. Anwar
adalah sahabat kakanda. Kalau dia bahagia maka kakanda juga bahagia. Salam
kakanda Saiful Bahri.”
Pembela :
“Terima kasih yang mulia. Saya tidak akan mengajukan pertanyaan lagi.”
Hakim
Ketua : “Saudara Penuntut Umum masih ingin
mengajukan pertanyaan pada saksi?”
Penuntut Umum : “Tidak yang mulia.”
Hakim Ketua : “Apa ada yang saudara ingin sampaikan pada Majelis Hakim?”
Penuntut
Umum : “Ada sedikit yang mulia. Sebuah perbuatan ditentukan oleh niat
pelakunya. Dari pemeriksaan yang dilakukan sudah cukup jelas niat apa yang
tersembunyi di balik hukuman yang dijatuhkan oleh tertuduh. Biarpun saudara
Bahri mengatakan bahwa semuanya ia lakukan demi Tuhan, demi bangsa dan negara,
niatnya yang sebenarnya adalah untuk menyingkirkan saingannya. Dengan demikian,
dia bukan orang yang melakukan tugas tapi ia harus dinyatakan seorang pembunuh.
Terima kasih.”
Hakim
Ketua : “Saudara Pembela, saudara saya
persilakan untuk menyampaikan pembelaan saudara yang terakhir pada Majelis
Hakim.”
Pembela : “Majelis hakim yang mulia.Kini
sampailah saya pada akhir tugas saya, yaitu membantu dengan sekuat tenaga
menegakkan kebenaran dan mengembalikan hak kepada yang berhak. Perbuatan
seseorang dinilai menurut niat pelakunya. Tapi siapakah yang dapat mengetahui
niat seseorang. Dan jika toh dapat kita ketahui, maka kita akan menilainya
menurut keterbatasan pribadi kita juga. Oleh karena itu, Majelis Hakim yang
mulia, satu-satunya yang dapat menghakimi adalah pelaku itu sendiri. Tapi itu
hanya akan terjadi, jika hati sanubari orang tersebut masih berfungsi
sebagaimana mestinya, jika suara hatinya masih bisa membedakan yang benar dan
yang salah. Yang terbukti dalam mahkamah ini tidak apa-apa, kecuali bahwa
saudara Saiful Bahri yang sekarang ini dihadapkan sebagai tertuduh, adalah
seorang yang jujur, rendah hati, percaya pada Tuhan dan seorang yang memiliki
tanggung jawab sepenuhnya atas semua perbuatannya. Oleh karena itulah pada
tempatnya, jika keputusan pengadilan ini dikembalikan pada hati sanubarinya sendiri.
Saya yakin Majelis Hakim yang mulia akan mempertimbangkan ini. Terima kasih!”
Hakim
Ketua : “Majelis hakim akan mengundurkan
diri untuk bermusyawarah dan mengambil keputusan. Dengan ini sidang saya undur
beberapa saat.”
(Para hakim berdiri lalu meninggalkan
ruangan sidang, sementara semua yang hadir berdiri.)
(Sumber: Manuskrip PDS HB. Jassin, 1984,
32-39)